Sekilas tentang Liberalisme, Sekularisme, Pluralisme, Feminisme
*Tulisan ini merupakan rangkuman dari materi yang disampaikan oleh Prof. Hamid Fahmi Zarkasyi
Kekurangan ilmu menjadi salah satu penyebab utama permasalahan umat saat ini, dan untuk menjawab permasalahan yang terjadi, khususnya karena ketiadaan ilmu yang benar pada kaum muslimin tentu bukanlah perkara mudah. Perlu penguraian masalah secara holistik dan komprehensif. Selain permasalahan internal yang terjadi di dalam tubuh kaum muslimin sendiri, permasalahan eksternal pun turut berperan dalam kemunduran umat Islam. Barat yang kini diyakini sebagai kiblat peradaban dunia secara umum adalah salah satu sumber permasalahan eksternal yang ada karena membawa paham-paham seperti sekularisme, pluralisme, dan feminisme (bersumber dari liberalisme) yang kini tengah gencar disebarkan di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Paham-paham ini begitu menghegemoni dan begitu halus menggerogoti pemikiran umat Islam sehingga tanpa sadar banyak yang terbawa dan ikut meyakininya.
Barat
yang dimaksud di sini merupakan peradaban yang tumbuh dan berkembang dari
kombinasi beberapa unsur, yaitu filsafat, nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi,
agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa (Prof. Dr. Syed
Naquib Al-Attas). Liberalisme yang merupakan produk peradaban Barat ini
memiliki turunan-turunan paham lainnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Liberalisme yang dimulai di Barat sendiri merupakan sebuah upaya yang berupaya
membebaskan manusia dari tatanan moral, supernatural, dan bahkan Tuhan dari
intelektual, religius, politik, dan ekonomi. Hal ini berarti paham ini ingin
menghapus hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan.
Liberalisme ingin menyingkirkan agama dari kehidupan publik sehingga menjadi
bersifat individual (dalam hal ini agama Kristen karena ia berawal dari Eropa).
Agama disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan kultur manusia modern dan pada
akhirnya berubah menjadi pengalaman keagamaan. Implikasinya secara sosiologis,
pemikiran liberalisme ini menerima secara mutlak pemisahan gereja dan negara
serta percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Kebebasan beragama
yang dimaksud adalah bebas beragama dan bebas untuk tidak beragama.
Berikutnya,
liberalisme menelurkan paham sekularisme, dimana paham atau pandangan ini
berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Agama
tidak boleh berperan dalam pemerintahan, pendidikan, atau bagian masyarakat
umum lainnya. Contoh dari sekularisme yang kini masif menyusup dapat terlihat
pada universitas-universitas, dimana saat ini di hampir sebagian besar
universitas, hanya dijadikan sebagai industri yang berdampak pada ekonomi.
Kebanyakan lulusannya berbondong-bondong untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang
menghasilkan gaji besar, bukan pada pengaplikasian ilmu dan manfaatnya pada
orang banyak. Akibatnya, muncul masalah-masalah lain karena orientasi pada
materi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan semacamnya. Padahal,
seyogyanya universitas mesti menjadi lembaga untuk mencetak manusia universal.
Tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan good man, manusia yang baik,
beradab.
Paham
lainnya ialah pluralisme. Paham ini merupakan sebuah paham yang bermata dua.
Pertama ialah pluralisme sosiologis. Menurut pengertian dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English tahun 1948, pluralisme
adalah wujudnya berbagai kelompok ras, ideologi, politik dan kepercayaan dalam
suatu masyarakat dan bahwa kelompok-kelompok berbeda tersebut dapat hidup
bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat. Kedua, pluralisme dipahami mirip
bahkan sama dengan relativisme dimana dalam Oxford Dictionary of Philosophy didefinisikan
bahwa pluralisme adalah toleransi umum terhadap 1) berbagai hal atau 2) lebih
khusus lagi berbagai perbedaan pandangan terhadap dunia (worldview.pent)
yang tak dapat didamaikan yang tak satupun dapat dianggap lebih fundamental
dari yang lain. Pluralisme adalah teori yang seirama dengan relativisme dan
sikap curiga terhadap kebenaran (truth). Ia terkadang juga dipahami
sebagai doktrin yang berpandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar
atau semua pendapat adalah sama benarnya.
Islam
sendiri tidak pernah membutuhkan pluralisme karena jika sekedar hidup
berdampingan secara aman dan damai, Islam sudah meletakkan dirinya sebagai
sebuah agama yang bisa toleran terhadap agama-agama lain. Jika kita lihat
pluralisme yang ada di dunia, terutama di Indonesia, ada beberapa tokoh
pluralisme yang aktif menyampaikan bahwa pluralisme berarti menerima bahwa (1)
agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang
sama, (2) agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran
yang sama sah, (3) setiap agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah
kebenaran (disampaikan oleh Nurcholis Madjid). Ada lagi pernyataan
kontroversial yang disampaikan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai cendikiawan
muslim Indonesia, Ulil Absar Abdala, bahwa semua agama sama. Semuanya menuju
jalan kebenaran. Jadi Islam bukan agama yang paling benar. Semua agama, dengan
demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang
berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam
satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran
yang tak pernah ada ujungnya.
Masih
mengenai pluralisme, dalam sebuah disertasi di sebuah Universitas Islam negeri
yang menyatakan bahwa “semua agama sama-sama menuju pada Tuhan. Jadi bukan
hanya Islam satu-satunya jalan menuju Tuhan.” Hal yang bisa dikritisi dari
pernyataan ini ialah, jika semua agama menuju Tuhan, mengapa dalam Islam Allah
melarang cara-cara beragama agama lain, bahkan memasukkan ke neraka bagi yang beribadah kepada Tuhan dengan cara
yang tidak sesuai dengan Islam? Jadi yang dituju Tuhan yang mana?
Pemikiran
terakhir yang akan dibahas yang bermuara pada liberalisme adalah feminisme,
yang juga sering digaung-gaungkan berdampingan dengan kesetaraan gender.
Feminisme pada mulanya sebenarnya bukanlah sebuah paham ataupun ideologi. Ia
merupakan gerakan emansipasi wanita yang menyuarakan tentang perbaikan
kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara wanita dengan pria.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, ia berkembang menjadi sebuah ideologi yang
menyatakan persamaan hak antara pria dengan wanita. Ketika paham feminisme
dianut oleh seorang muslim, maka ia akan menuduh syariat Islam dengan
mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dan ketidaksejajaran antara laki-laki dan
perempuan, kecenderungan misoginis dan patriarki dalam penafsiran teks-teks
keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir keagamaan yang bias
kepentingan laki-laki.
Sekarang,
feminisme berkembang menjadi gender equality atau kesetaraan gender. Sebagian
ada juga yang menyebutnya sebagai keadilan gender dimana porsi dan siklus
sosial perempuan dan laki-laki setara, seimbang, juga harmonis. Kesetaraan
gender mengupayakan bagaimana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk
merealisasikan hak dan potensinya untuk memberikan kontribusi pada perkembangan
politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta sama-sama bisa menikmati hasil dari
perkembangan tersebut. Selanjutnya, pada perkembangannya, feminisme terbagi
menjadi beberapa aliran mulai dari feminisme radikal hingga ekofeminisme.
Namun, diantara banyaknya aliran feminisme yang ada, yang paling menonjol dan
paling aktif dalam pergerakan maupun advokasinya adalah feminisme radikal.
Paham ini berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan perlu persamaan tidak saja
dalam soal hak sosial tapi juga hak seksual. Artinya, kepuasan seksual dapat
juga diperoleh dari sesama perempuan. Dan oleh karena itu, para penganut LGBTQ
terutama kaum lesbian dapat diberi hak hidup. Implikasinya, perempuan tidak
harus bergantung pada laki-laki, tidak hanya dalam kebutuhan materi tapi juga
dalam soal kebutuhan seksual. Selain itu, kelompok ini berpendirian bahwa laki-laki
adalah masalah bagi kaum perempuan dan laki-laki selalu menindas perempuan.
Saat pemahaman ini dianut oleh muslim terutama kaum hawa, mereka akan menganggap Islam merendahkan wanita sehingga Syariah perlu didekonstruksi. Salah satu contohnya ialah mereka menyalahkan tafsir Al-Qur’an seperti: (1) Untuk laki-laki satu derajat di atas perempuan (QS 2:228), (2) Dan laki-laki itu penjaga/pemimpin/pelindung perempuan (QS 4:34). Mereka menafsirkan bahwa : (a) Hanya laki-laki yang memiliki kelebihan penalaran, kesempurnaan akal, kejernihan pikiran, kematangan dalam perencanaan dalam beribadah kepada Allah, (b) Kaum laki-laki saja yang berhak jadi Nabi, ulama, imam, azan, guru, khutbah nikah, dsbnya, (c) Peran sosial laki-laki lebih daripada wanita. Padahal, perlu penafsiran yang lebih dalam lagi, tidak bisa diartikan begitu saja. Islam sudah memberikan peran yang adil baik bagi laki-laki maupun perempuan sesuai kodratnya. Adil tidak selalu harus sama rata, tapi proporsional sesuai dengan tempatnya.
Mengenai argumen feminis di atas, ada salah satu jurnal yang ditulis oleh Dr. Zeenath Kautsar yang menanggapi dengan cerdas tudingan feminis muslim di atas dengan judul "Islamic Feminisim: Is It Calling for a Non-Patriarchal Interpretation of the Qur’an or It Conveys that the Qur’an Remained Neutral to Patriarchy". Saya sebenarnya sudah merangkumnya dalam sebuah podcast (penugasan dari CRC Feminisme CADIK) tapi karena perlu revisi dan saya belum sempat memperbaiki, jadi belum diunggah 😂. Semoga bisa segera saya rampungkan dan mungkin akan saya tulis juga poin-poinnya di blog ini.
Sekian~
Komentar
Posting Komentar