Talaqqi Pengajar Tahsin (TPT)



Rabu pagi jam 7 lewat 30 menit...
Ah, masa-masa yang aku rindukan...
Pagi itu kembali melingkar dalam majelis talaqqi para pengajar tahsin IPB di kosan tercinta -Al Iffah- bersama Teh Cinta yang selalu bersemangat dan unik. Hanya ada aku, k Chacha dan Titi. Pengajar yang lain sedang berhalangan untuk ikut.

Setelah majelis dibuka, kami bersama-sama membaca surat awal, Al-Fatihah. Alhamdulillah, tidak ada yang salah. Setelah itu dilanjutkan dengan talaqqi satu per satu dengan bacaan surat Al-Qalam. Masing-masing membaca beberapa ayat kemudian diperbaiki oleh Teh Cinta lalu disambung oleh pengajar lainnya. Begitu seterusnya hingga ayat terakhir. Ternyata masih ada saja kesalahan yang aku lakukan, diantaranya masih ada sifat huruf yang belum jelas terdengar, idgham bighunnah yang masih kurang sempurna cara memasukkannya (ketika huruf nun sukun bertemu dengan huruf ya, bacaan didengungkan, tapi ternyata pembacaan yang keluar dari mulutku masih belum benar. Ternyata caranya hidung agak ditekan sehingga memang jelas terdengar beda antara membaca ya' yang idgham bighunnah dengan yang bertasydid) dan juga saat ada idgham syafawi.

Dan saat-saat seperti inilah yang paling aku suka. Aku semakin sadar bahwa talaqqi itu sangat penting, karena saat kita membaca Al-Qur'an sendirian tanpa ada guru yang mendengarkan, persentase kesalahan itu akan menjadi lebih besar dan kita tidak sadar, apalagi yang belum mengikuti tahsin. Sedangkan kita sebagai seorang muslim harus bisa membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar (Tartil = lambat, benar dan khusyu'. Namun diperbolehkan membaca Al-Qur'an dengan agak cepat, asalkan bacaan tetap bertajwid) sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Muzzammil : 4, yang artinya "...Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil"

...Aku jadi teringat saat tahsin pertama kali ketika tingkat 1. Saat itu bacaanku benar-benar parah dan payah, clemotan sana-sini, mad-nya apalagi! Tapi berbekal dengan azzam yang kuat (setelah mendapat tausiyah mujarab oleh guru tahsinku --> K Ratna) untuk menjadi seorang pengajar --> "Sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Al-Qur'an" dan menjadi seorang hafidzah Qur'an (persembahan mahkota terbaik seorang anak kepada ibunya), alhamdulillah masa-masa blepotan membaca Qur'an itu telah terlewati dan impian menjadi seorang pengajar tahsin pun tercapai (meskipun masih banyak kekurangan apalagi teorinya --> harus sering melihat buku untuk menyampaikannya dan belum ikut dauroh syahadah pula karena saat itu bentrok dengan ujian kenaikan tingkat thifan po khan)...

Well, kembali ke majelis talaqqi tadi, setelah usai talaqqi satu per satu, Teh Cinta membuat role play materi. Maksudnya, para pengajar melakukan micro teaching dihadapannya selama 5 menit, menyampaikan cara memberi materi kepada santri tahsin. Aku nervous. Rasanya malu kalau cara mengajar kami harus dilihat oleh Teh Cinta. Tapi, mau tidak mau, hal itu harus dilakukan untuk melihat sejauh mana pendalaman materi yang kami berikan dan seberapa menarik dan bisa terserapnya materi yang diterima santri tahsin. Rasanya lucu juga, gaya-gaya penyampaian setiap orang berbeda. Setelah satu orang selesai, akan dievaluasi oleh Teh Cinta. Begitu seterusnya hingga tiba giliranku. Evaluasi yang aku dapatkan ialah aku terlalu banyak gerakan tambahan. Sebenarnya kata Teh Cinta, itu menarik, karena menjadi tidak membosankan dan santri menjadi lebih santai, tapi biasanya ada juga santri yang cukup risih dengan melihat pengajar yang terlalu banyak gerakan. So, harus bisa ditakar. Selain itu, Teh Cinta juga memberikan tips untuk mengetahui kondisi santri, apakah ia sudah mengerti atau tidak. Caranya dengan melihat matanya. Jika terlihat matanya seperti sedang menerka-nerka sesuatu ketika kita menjelaskan (ex: pada bab Mad, kita mengklasifikasikan panjang harakat menjadi 3, yakni 2, 4, dan 6 harakat. 2 harakat jika fathah bertemu dengan alif mati, kasrah bertemu dengan ya' mati dan dhommah bertemu dengan wawu mati. 4 harakat jika di depan alif mati ada haruf hamzah dan ingat saja pokonya tidak bertemu dengan sukun dan tasydid. 6 harakat jika alif mati bertemu dengan sukun atau tasydid). Nah, jika setelah kita berbicara, ada santri yang matanya ke atas ke bawah kelihatan berpikir, tandanya dia sebenarnya tidak mengerti. Orang-orang seperti ini tergolong jenis visual, jadi harus menggambarkannya lewat media, entah kertas atau papan kecil.

Pengajar memiliki tanggungjawab atas kemampuan santrinya membaca Qur'an. Dan itu akan terlihat pada saat ujian tahsin di akhir semester. Teringat dengan kelompokku semester kemarin, rasanya sedih, karena tidak ada satupun yang lulus ujian tahsin. Yah, usaha berbanding lurus dengan hasil. Santriwatiku memang kurang konsisten. Datangnya sering bergantian. Kalau minggu sekarang si A datang, minggu depannya si J yang datang tapi A g datang. Kalo kata Teh Cinta sih, itu mah wajar :D.. Tapi memang tetap jadi beban moral bagi pengajar, karena perasaan kurang optimal untuk mengajak dan menyampaikan materi.

Anyway, segitu dulu sharing TPT-nya. Semoga bisa mengingatkan, khususnya buat aku sendiri. Semoga semangat belajar dan mengajar itu tumbuh dan berkembang. Ketika ilmu yang kita bagi bisa diserap oleh orang lain, dan ia pun menyampaikannya lagi, bayangkan berapa pahala yang bisa dapatkan dari situ. Apalagi mengajarkan membaca Al-Qur'an yang memang menjadi kewajiban setiap muslim untuk membacanya dan dengan tartil.

Semoga bermanfaat :)


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepintas Gender, Menilik Patriarki

pelajaran dari novel "diorama sepasang AlBnna"

Seperti Bunga