Sisa Berapa Lembar Lagi?

Source Image Here

Hari ini hujan sepertinya sedang betah berlama-lama menyentuh permukaan bumi. Sepertinya hujan tau, bahwa benih-benih sedang menunggu siraman airnya, hewan-hewan sedang menunggu rintiknya, dan manusia sedang menunggu waktu mustajabnya untuk berdoa. Maka, berdoalah dengan sebaik-baiknya doa.

Sembari menikmati titik-titik air yang turun dari langit, saya kembali membuka buku yang cukup menginspirasi dan mengajak saya untuk banyak merenung, "Diriku, Bagaimana Kabarmu?"
Ya, aktivitas yang begitu stagnan belakangan ini membuat jiwa saya cukup dahaga dengan nasihat-nasihat yang menyentuh kalbu. Buku ini banyak mengingatkan saya kembali tentang makna hidup dan menjalani kehidupan di muka bumi ini.

Hidup ini ibarat kita membuka lembar demi lembar sebuah buku. Dan setiap lembar buku yang kita buka, adalah ibarat satu hari yang kita lewati. Semakin banyak lembar buku yang kita buka, berarti semakin tipis sisa lembar buku yang kita buka. Hingga akhirnya lembar demi lembar buku itupun habis kita buka. Dan itulah ajal.

Kawan,
Dalam setiap lembaran itu, ada catatan dan warnanya sendiri-sendiri. Berapa lembar yang sudah kita buka? Apa isi catatan yang ada pada lembar demi lembar yang telah kita buka itu? Ada warna apa di sana? Apakah gambar dan peristiwa yang tertera di sana? Indahkah catatan, warna dan gambarnya? Lalu berpikirlah tentang berapa banyak lagi lembaran yang tersisa bagi kita untuk kita isi?

Kawan,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam pernah memegang pundak Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, lalu bersabda "Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Jika engkau hidup hingga waktu sore, janganlah menunggu pagi dan jika engkau hidup hingga waktu pagi, jangan menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati." (HR. Bukhari)

Kawan,
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam sebuah ceramahnya yang begitu menggugah mengatakan, "Wahai pemuda-pemudi dua puluhan tahun, berapa banyak teman-teman seusia kalian yang telah meninggal dan mendahului kalian? Wahai pemuda-pemudi tiga puluhan tahun, kalian berada di rentang terakhir usia muda, apa yang telah kalian lakukan selama ini? Wahai para orangtua empat puluhan tahun, telah terlewati masa kecil dan masa muda, dan kalian terlalu lama bermain dan bersenda gurau hingga saat ini. Wahai, para orangtua lima puluhan tahun, usia kalian telah menempuh separuh dari seratus tahun, apa yang sudah kalian hasilkan? Wahai para orangtua enam puluhan tahun, terlalu lama waktu yang telah kalian lewati, mungkin kalian berada di ujung harapan, apakah kalian akan tetap bermain dan bersenda gurau, padahal engkau sudah hampir sampai...."

Seketika saya merasa huruf demi huruf pada buku tersebut mulai kabur oleh air yang mulai menggenangi mata. Saya tertegun kembali. Sudah berapa tahun saya hidup? Di usia saya seperti saat ini Muhammad Al-Fatih telah menaklukkan Konstantinopel, di usia saya seperti saat ini Khadijah radhiallahu 'anhu  telah menjadi seorang pedagang sukses, mungkin Laksamana Keumalahayati telah menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam. Lalu bagaimana dengan saya? 

Kawan, 
Mungkin ada di antara kita yang bangga dan bersyukur dengan bertambahnya usia. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Kecuali rasa bangga, syukur atas segala karunia dan nikmat Allah adalah hal yang patut kita lakukan setiap waktu. Bangga atas bertambahnya umur hanya akan membuat kita lupa. Seharusnya kita semakin banyak merenung dengan kian berkurangnya usia. Seperti dikatakan Abu Darda dan Al Hasan radhiallahu 'anhuma, "Dirimu hanyalah gugusan hari demi hari. Setiap berlalu satu hari berarti berkuranglah bagian dari dirimu. Mengapa kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lewati? Padahal setiap hari berlalu, artinya kian mendekatkan kita pada ajal..."

Ah, amal kebaikan. Seringkali luput untuk dilaksanakan, lupa untuk dikerjakan, terlena dengan hal-hal yang lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaat. 

Kalian pernah merasakan hal yang pernah saya rasakan? Merenungi perjalanan hidup, lika-likunya dan suka-dukanya. Pada masa perenungan itu, saya tau begitu banyak dosa yang telah saya lakukan dan terasa sedikitnya amalan kebaikan yang terlaksana. Saya bertekad untuk taubat dari kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Tapi ternyata kembali melakukan dosa yang sama. Saya bertanya-tanya sendiri, kenapa iman begitu lemah. Di satu waktu ia bisa begitu kuat, di satu waktu ia bisa begitu lemah. Buku yang saya baca ini pun menjawabnya. Kesalahan pertamanya, ada pada sikap khowaatir al qalb, atau lintasan hati. Kita lupa, bahwa sesungguhnya hati orang beriman itu mulia, agung, tinggi, sehingga hati orang beriman itu benar-benar memiliki fungsi untuk menyuarakan sesuatu yang baik kepada pemiliknya. Kita bersikap tasaahul atau memudahkan, menggampangkan, tidak mempedulikan lintasan hati yang sebenarnya sangat mulia. Hal inilah yang menyebabkan kita jatuh pada kesalahan yang sama.

Saya teringat dengan tulisan yang saya baca di Majalah Tarbawi edisi November lalu tentang pentingnya menjaga hati yang sehat. Bahwa ternyata lintasan hati yang dimaksud adalah nurani. Ia adalah qalb itu. Hati bisa jadi terkotori oleh noda-noda hitam dosa kita, tapi nurani tidak bisa. Jangan salah, ia bisa saja tak terlihat sinarnya jika hati yang menjadi tempatnya bernaung penuh dengan bercak noda akibat kemaksiatan yang sengaja ataupun tidak sengaja kita lakukan. Na'udzubillahi min dzalik

Semoga kita terhindar dari kesia-siaan. Semoga kita terhindar dari maksiat, termasuk sadar bahwa apa yang dilakukan salah tapi terus saja dilakukan. Semoga kita termasuk hamba-hambaNya yang beruntung. Apalah kita ini di hadapan Rabb Pencipta Alam Semesta ini. Hanya diperintahkan untuk menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya saja masih tengil. 

Terakhir, ingin menanyakan kembali pertanyaan Ustadz M. Lili Nur Aulia pada diri saya sendiri dan kalian, "Hari ini sudah membuka lembar ke berapa? Berapa banyak catatan di lembar-lembar waktu kita yang tak ada hubungannya dengan dunia apalagi akhirat?


---Yaa Muqallibal qulub tsabbit qalbi aladdin wa ala thaatiq  (Wahai yang membolak-balik hati manusia tetapkanlah hati ini dalam agama dan ketaatan kepadamu….Yaa Allah jangan Engkau jauhkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk)---


Di Ruang Biru
11/12/13, 0:14 am

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepintas Gender, Menilik Patriarki

pelajaran dari novel "diorama sepasang AlBnna"

Seperti Bunga