RESENSI : KEMI "Cinta Kebebasan yang Tersesat"

Hari ini baru saja menyelesaikan membaca novel “KEMI, Cinta Kebebasan yang Tersesat” karangan Ustadz Adian Husaini yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia bidang Ghazwul Fikri dan saat ini sedang menjabat sebagai direktur Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor sejak 2010. 

KEMI, awalnya saya bingung saat pertama kali mendengar judulnya. Kok lucu ya? Namun, saat membaca resensi bukunya yang kebetulan saya lihat di toko buku online, saya pun tertarik. Apalagi, disitu ada quote dari seseorang yang sangat saya kagumi, Bapak Taufiq Ismail, sastrawan hebat Indonesia. Ia berkata “Setelah wajah pesantren dicoreng moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih membendung gelombang liberalisme.”

Siapa yang tak kenal Ustadz Adian Husaini? Bagi saya, yang sangat tertarik dengan isu-isu pemikiran, tentu mengenalnya. Bahkan saya sempat bertemu dengan beliau beberapa kali dalam acara-acara tertentu dan yang terakhir ketika silaturahim tokoh dari organisasi saya, KAMMI. 

Apa yang menarik dari novel ini? Tentu saja isu dan topik mengenai liberalisme, multikulturalisme, sekularisme, pluralism, dan berbagai isme lainnya hingga kesetaraan gender (KG) yang dikemas oleh penulis dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Beliau, Ustadz Adian Husaini, terlihat begitu piawai memainkan kata sekaligus mampu memberikan pengetahuan bagi pembaca untuk bisa menyerapnya. Bagi saya sendiri, dialog-dialog yang terdapat dalam novel ini bisa menjadi contoh ketika berhadapan langsung dengan orang-orang yang berpikiran liberal. 

Bagi orang-orang yang mungkin masih awam dengan kata “liberal” ataupun “islam liberal”, akan sangat baik jika membaca novel ini. Penulis menjelaskan tentang asal muasal pemikiran liberal hingga menjelaskan kelemahan-kelemahannya yang ia perlihatkan melalui dialog-dialog antar tokoh.

Selain “isi”nya yang mengena, alur ceritanya pun lumayan bagus. Dan, tidak akan lengkap isi sebuah novel jika ia tidak ditambahi dengan bumbu-bumbu cinta. Begitupun KEMI ini. Kita akan melihat bagaimana dua tokoh utama dalam novel ini menjalani kisah cinta mereka, yakni Kemi yang bernama lengkap Ahmad Sukaimi dan Rahmat.

Kemi, tokoh yang menjadi judul novel ini adalah seorang santri cerdas dan rajin yang berasal dari keluarga miskin di desanya. Ia nyantri di pesantren Minhajul Abidin milik Kyai Rois, Kyai bersahaja dan cerdas. Kemi jatuh cinta pada anak Kyai Rois bernama Cahaya Imani. Kisah cinta mereka berdua bahkan pernah santer terdengar di kalangan santri, namun sayangnya Cahaya Imani tidak terlalu merespon cinta Kemi. Hal inilah yang kemudian membuat Kemi kecewa dan akhirnya menerima ajakan Farsan, kakak kelasnya dulu di pesantren yang sudah menjadi liberal pemikirannya, untuk kuliah di Jakarta dengan iming-iming menambah wawasan dan memperluas cakrawala berpikir selain untuk pelarian atas kekecewaannya. Tokoh utama lainnya ialah Rahmat. Ia adalah sahabat dekat Kemi. Mereka berdua adalah murid kepercayaan Kyai Rois dan sangat diharapkan untuk dapat meneruskan perjuangan Kyai Rois mengelola pesantren. Diceritakan bahwa Rahmat berusaha untuk menyelamatkan pemikiran Kemi yang sudah kepalang liberal dan mengembalikannya ke pesantren. Dalam usahanya ini, ia pun menyusul Kemi ke Jakarta dan masuk ke kampusnya atas izin Kyai Rois. 

Di kampus Kemi inilah Rahmat pun jatuh hati kepada teman perempuan Kemi yang bernama Siti, Siti Murtafiah. Siti pun sama seperti Kemi, sama-sama aktivis liberal, feminis berat yang sangat menentang UU antipornografi dan sangat mendukung kesetaraan gender (KG). Ia adalah anak seorang Kyai pemilik pesantren di Banten. Ia menjadi liberal karena merasa terlalu dikekang dan berpikiran kolot, sehingga ia memutuskan untuk kuliah juga di Jakarta. Siti adalah muslimah berkerudung tapi secara maknawi tidak. Pasalnya, ia tetap saja menggunakan pakaian yang ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya. Laki-laki manapun yang melihatnya pasti akan tergoda. Tak terkecuali Rahmat. Namun, bukan karena penampilan fisik lah yang membuat Rahmat jatuh hati, akan tetapi ada sesuatu di dalam diri Siti yang menarik hati Rahmat. Ia melihat, dibalik pemikiran Siti yang liberal, ia adalah sosok yang mandiri dan mampu menjadikan hidup Rahmat lebih dinamis. Rahmat tau, meskipun Siti aktivis liberal, tapi Siti tau apa yang ia jalankan salah. Hal ini terbukti saat Siti mengaku sendiri bahwa ia terjebak dalam lingkaran liberal itu. 

Bagi saya, cerita antara Rahmat dan Siti inilah yang lebih menarik dan justru menjadi sentral dibandingkan Kemi sendiri. Apalagi di bagian akhir dari novel ini menceritakan kisah mereka berdua. Endingnya menggantung, tapi justru disitulah keunggulannya.

Saat Siti tobat dan kembali ke pesantren orangtuanya, ia sadar bahwa ia jatuh cinta pada Rahmat. Dan ia pun tahu Rahmat memiliki perasaan yang sama. Tetapi pada akhirnya, ia memilih untuk mengorbankan perasaannya dan mengabdikan diri untuk pesantrennya, menebus segala kesalahan-kesalahannya dulu dan memperdekat dirinya dengan Allah SWT. Yang membuat saya terharu ialah surat elektronik yang ia kirimkan pada Rahmat yang memberitahu tentang perasaannya, harapannya, keinginannya dan keputusannya. Berikut cuplikannya

“Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Rahmat yang baik. Saya minta kamu membaca surat ini di waktu tengah malam, supaya kamu bisa lebih merenungkan segala isinya, dengan lebih tenang dan juga dalam suasana hati yang khusyu.
Rahmat, rasanya dunia pesantren ini begitu indah. Dunia seperti inilah, dunia penuh keikhlasan, yang sudah bertahun-tahun saya tinggalkan. Saya tergoda oleh fatamorgana kebebasan dan kegemerlapan, laksana istri Aladin yang terpukau dengan kilau lampu baru yang tidak berkhasiat apa-apa. Alhamdulillah, akhirnya saya tersadarkan, bahwa senyum dan tawa lepas yang menghiasi situasi pergaulan di kampus saya, ternyata tidak membawa hati pada kedamaian. 
Jangan merasa bangga kalau saya katakan, kamulah yang berjasa besar dalam mengubah jalan hidup saya. Saya tersadar, bahwa ada manusia seperti kamu. Ada orang pesantren yang cerdas, tampan, tawadhu, tetapi tidak gamang menghadapi tantangan kehidupan modern. Bahkan, kamu sanggup melakukan satu hal yang belum pernah saya dengar sebelumnya: terjun ke kancah perang pemikiran yang sangat dahsyat, dengan pendirian dan sikap yang teguh. 
Saya berharap, kamu tetap mempertahankan keikhlasan dan tidak bangga dengan pujian dari saya. Keikhlasan inilah yang sudah banyak hilang dari lingkungan kita, termasuk dunia pesantren. Padahal, begitu banyak ulama kita yang mengajarkan dan memberikan keteladanan dalam soal keikhlasan. 
Seperti janji saya pada kamu dan bapak, saya akan bejuang sekuat tenaga untuk menebus segala macam kesalahan saya di masa lalu. Saya tidak tahu berapa lama lagi saya hidup…
Saya tidak pedulikan itu semua. Saya hanya memikirkan bagaimana tobat saya diterima Allah dan orangtua saya meridhai saya. Sungguh, Rahmat, kehidupan saya sekarang bahagia. Hati saya tenang sekali. Puncak kebahagiaan saya rasakan saat sujud kepada Allah di tengah malam. 
Dalam suasana seperti inilah, Rahmat, saya tidak ingin diganggu dengan soal cinta. Saya paham benar, kamu mempunyai benih-benih cinta pada saya. Saya bisa melihat dari sorot mata dan sikap kamu selama ini. Saya pun demikian. Saya perempuan normal, yang pasti akan terpukau melihat laki-laki seperti kamu. Saya tidak mau menyembunyikan cinta saya pada kamu. Kepada bapak pun saya katakan seperti itu. Kamu tentu rindu pada saya, saya pun sama, juga menyimpan rasa rindu yang mendalam, jika beberapa hari tak berkomunikasi dengan kamu. 
Tetapi, Rahmat, saya ingin kita sama-sama ikhlas. Saya ingin kita menatap masa depan ummat kita, masa depan pendidikan kita. Saya sadar jika saya mendahulukan naluri saya sebagai perempuan, saya akan memilih menikah dengan kamu. Apalagi, bapak juga sangat menginginkan hal itu. Tetapi, saya maklum dengan kondisi saya. Saya sadar akan masa lalu saya. Saya tahu sifat saya. Juga sedikit banyak saya tahu kondisi kamu sendiri dan kedudukan kamu di pesantren.  
Saya sudah berpikir masak-masak, demi kebaikan ummat dan pendidikan Islam, saya dengan ikhlas mengorbankan perasaan saya sendiri. Saya ingin meletakkan cinta saya pada Allah, melebihi kecintaan kepada manusia lainnya…
Rahmat, hati saya menangis saat menulis surat ini. Tetapi saya ingin mata saya tidak meneteskan airmata untuk hal-hal seperti ini. Saya yakin kamu jauh lebih kuat daripada saya…
Setelah membaca surat ini, mari kita hadapkan hati kita kepada Allah. Kita ikhlaskan hati kita menerima takdirNya. Insya Allah akan datang kepada kita kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang abadi, dimana hati kita merasa tenang saat mengingat Allah. Segala macam kenikmatan dunia hanyalah bersifat semu dan menipu. Insya Allah kita bersama-sama meraih kebahagiaan hakiki, meskipun kita berjauhan karena kita disatukan dalam iman dan ikhlas. 
Inilah bukti keikhlasan cinta saya. Saya ingin kamu meraih kebahagiaan hakiki, bukan sekedar bayangan syahwat semu yang fana. Saya ingin kamu menjadi manusia yang sejati, dan di masa depan, kamu bisa tampil sebagai ulama sejati yang berilmu tinggi, berakhlak mulia, zuhud dan ikhlas berjuang di jalan Allah…
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Hamba Allah,
(Siti Murtafiah)” 

Bagaimana? Menyentuh bukan? Isi suratnya begitu dalam mengena di hati saya. Ya, cinta kepada Allah di atas semua cinta. Bukankah begitu yang seharusnya? Tidak ada yang salah dengan cinta kepada manusia. Tapi jika kita kemudian menjadi terobsesi, dan menimbulkan mudharat, hal itu menjadi salah. Dalam Islam, tidak ada yang salah jika kita memilih pasangan hidup yang padanya kecenderungan kita berada. Justru, contoh-contoh itu ada pada Rasulullah SAW dengan Khadijah ra, serta Ali ra dengan Fatimah ra. Tapi, proses yang mereka lewati sesuai syari’ah. Jika siap, segera lamar. Jika tidak, tahan perasaanmu dan mendekatlah pada Sang Khalik.

Ok, sekian untuk episode kisah cinta yang ada dalam novel ini. Saya beralih pada tujuan dibuatnya novel Kemi ini oleh Ustadz Adian. Tujuan utamanya ialah agar pembaca memiliki wawasan yang lebih dalam tentang pemikiran liberal dan bagaimana cara-cara mereka menyebarkan fikrah-fikrah mereka yang dalam novel ini dilakukan dengan merekrut santri-santri cerdas dari pesantren, lalu mencuci otak mereka dengan iming-iming kekayaan juga popularitas. Selain itu, pembaca pun diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama yang selalu dilontarkan oleh aktivis liberal.

Berikut kutipan dialog antara Rahmat dan Prof. Malikan, rektor liberal sekaligus pengajar di Institut Damai-Sentosa tempat Kemi dan Rahmat kuliah.

Prof. Malikan : “ Ada kesalahan metode dalam studi agama-agama selama ini di kalangan umat beragama. Mereka melihat agama-agama dari kacamata subjektif, dari sudut pandang agamanya sendiri. Akibatnya, yang lahir adalah standar ganda dalam melihat agama-agama. Agamanya sendiri dipandang benar, hebat dan tinggi, sedangkan agama-agama lain dipandang sesat, salah bahkan rendahan. Metode atau cara pandang seperti ini harus diubah, dengan titik pandang yang objektif dan tidak ideologis sehingga melahirkan pandangan yang adil dan objektif terhadap semua agama. Pandangan objektif dan netral inilah yang harus kita kembangkan di Indonesia sehingga tidak lahir dari studi agama-agama ini cara pandang yang angkuh dan sombong, yang hanya memandang agamanya sendiri yang benar dan menyalah-nyalahkan atau merendahkan agama lain. Inilah yang menyebabkan konflik-konflik antar agama selama ini terus berlangsung.” 
Rahmat : “Profesor menggunakan logika John Hick yang sebenarnya sudah banyak dibantah oleh ilmuwan-ilmuwan agama-agama. Melihat agama-agama pada posisi yang netral adalah sebuah ideologi juga, yakni ideologi netral agama. Itu namanya posisi teologi abu-abu, yakni posisi teologis yang berdiri di luar semua agama. Posisi teologis abu-abu ini bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, bukan Budha, atau agama-agama lain. Inilah yang namanya posisi agama baru. Juga, Prof, logika netral agama akan merukunkan agama-agama dan mendamaikan dunia sebenarnya itu juga mimpi. Sebab, posisi teologis abu-abu ini menambah daftar konflik baru karena memunculkan agama baru. Orang beragama yang yakin dengan agamanya pasti tidak mau melepaskan keyakinannya. Kecuali orang-orang yang memang sudah ada penyakit dalam hatinya yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ‘orang munafik’. Saya selama ini heran, orang-orang yang mengaku berposisi teologis inklusif-pluralis selalu mengatakan agar dalam beragama kita harus bersikap tawadhu,jangan merasa benar sendiri, jangan menyalahkan orang lain dan sebagainya. Tetapi faktanya, mereka sendiri juga menyalahkan orang lain yang pikirannya tidak sama dengan mereka. Orang yang meyakini agamanya sendiri yang benar kan seharusnya juga dihormati, bukan disalahkan. Meyakini sesuatu kan menjadi haknya…”

Bagi saya, dialog di atas bergizi sekali dan menambah ilmu saya untuk berani berdialog secara cerdas dilengkapi dengan argumen yang baik. Sebenarnya masih banyak dialog-dialog lainnya yang juga akan membuat pembaca berkata “oo”, “oh, iya ya” dan sejenisnya. Lengkapnya, silakan baca novelnya saja.

Nah, jika ada yang berminat untuk membacanya, bisa pesan langsung di toko-toko buku online atau toko buku Islami terdekat. Atau kalau ada yang berminat untuk meminjam, silakan japri langsung ke saya via komentar di bawah ya.

Sekian resensi saya tentang Novel Kemi ini. Semoga bermanfaat ^^


*Note : Resensi ini sudah saya buat sejak tahun lalu, tapi baru sempat diposting sekarang :)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepintas Gender, Menilik Patriarki

pelajaran dari novel "diorama sepasang AlBnna"

Seperti Bunga